Kenaikan Harga Beras Mendorong Penurunan Keuntungan Pedagang, Guru Besar IPB Ingatkan Pentingnya Kebijakan Impor yang Bijaksana

harga beras

Kenaikan Harga Beras – Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatatkan tingkat inflasi harga beras pada bulan September 2023 mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir. Kondisi ini telah menimbulkan tantangan serius bagi pelaku usaha kuliner yang sekarang harus merancang strategi kreatif untuk tetap menjaga margin keuntungan mereka. Salah satu tindakan yang diambil adalah mengurangi porsi nasi yang disajikan kepada pelanggan.

Di sisi lain, kenaikan harga beras ini tampaknya memberikan dampak positif bagi para petani, yang menganggapnya sebagai “harga beras yang menguntungkan.” Meskipun sebelumnya terjadi penurunan produksi beras saat berlangsungnya fenomena El Nino, seorang Guru Besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengakui bahwa penurunan tersebut tidak signifikan.

Meskipun begitu, dia menekankan bahwa reaksi pasar yang berlebihan terhadap kenaikan harga beras justru dapat memicu implementasi kebijakan impor yang kurang bijaksana, yang berpotensi merugikan para petani dan juga masyarakat secara umum. Guru Besar IPB memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati dan bijak dalam mengambil langkah-langkah kebijakan terkait impor beras demi menjaga stabilitas harga dan kesejahteraan petani serta masyarakat.

Pelaku usaha kuliner di Jakarta Timur, seperti Ahmad, pemilik warteg, mengakui bahwa keuntungannya semakin menipis akibat kenaikan harga beras. Ia tidak memiliki rencana untuk menaikkan harga, namun bersiap untuk mengurangi porsi nasi yang diberikan kepada pelanggan. Demikian juga, penjual pecel lele di Jakarta Pusat, Burhanudin, meskipun belum merasakan dampak signifikan dari kenaikan harga beras, telah mulai mengurangi porsi nasi untuk pelanggan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras di tingkat konsumen telah meningkat sebesar 18,44% dalam satu tahun terakhir, sebagai hasil dari penurunan luas panen yang disebabkan oleh dampak El Nino. Inflasi harga beras bulan September 2023 secara keseluruhan juga mengalami peningkatan sebesar 5,61% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, mencatatkan angka inflasi bulanan tertinggi dalam lima tahun terakhir, sejak Februari 2018, ketika BPS melaporkan inflasi harga beras bulanan sebesar 6,25%.

“Kenaikan harga beras ini disebabkan oleh penurunan pasokan akibat musim kemarau yang berkepanjangan, serta penurunan produksi sebagai dampak dari fenomena El Nino,” ungkap Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam sebuah pernyataan resmi.

Di sisi lain, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani juga mengalami peningkatan yang signifikan. BPS melaporkan bahwa rata-rata harga GKP pada bulan September 2023 mengalami kenaikan sebesar 11,69% dibandingkan dengan bulan Agustus 2023, dan dalam satu tahun terakhir, tercatat peningkatan sebesar 26,70%.

Harga gabah kering giling (GKP), yang merupakan bahan baku untuk produksi beras, juga mengalami kenaikan harga di tingkat petani, yakni sebesar 9,26% jika dibandingkan antara bulan September dan Agustus. Dalam satu tahun terakhir, harga GKP telah naik sebesar 27,31% (Year-on-Year September 2023).

Baca Juga  Detik-Detik Menuju Pengumuman Calon Wakil Presiden (Cawapres) Ganjar Pranowo oleh PDIP

Namun, apa dampak sebenarnya dari kenaikan harga-harga tersebut di lapangan? Menurut Tarsono, seorang petani asal Indramayu, Jawa Barat, kenaikan harga beras belakangan ini justru dianggap sebagai berita baik bagi para petani. Menurutnya, di wilayahnya, kenaikan harga beras berarti peningkatan keuntungan yang cukup signifikan. Sebagai contoh, seorang petani dapat memperoleh keuntungan sekitar Rp20 juta dalam satu kali panen (setiap empat bulan) dengan produksi gabah sebanyak empat ton. Dengan kata lain, setiap bulannya, seorang petani dapat meraih keuntungan sebesar Rp5 juta.

Namun, Tarsono juga mengakui bahwa tahun ini sejumlah lahan petani di Indramayu mengalami serangan hama tikus dan tenggerek, serta terdampak oleh kondisi El Nino yang menyebabkan persaingan untuk mendapatkan air yang cukup.

Suroso, seorang petani di Jawa Tengah, juga mengakui bahwa kenaikan harga beras di pasaran telah berdampak pada kenaikan harga gabah di tingkat petani. Dia menyebutkan bahwa harga jual GKP (gabah basah) mencapai titik tertinggi hingga mencapai Rp6.600 per kilogram langsung dari sawah. Hal ini merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan harga sebelumnya yang mencapai Rp5.500 saat panen sebelumnya.

Meskipun harga naik, produksi padi milik Suroso mengalami penurunan akibat serangan penyakit pada tanaman padi serta serangan hama, sehingga hasil panen sekarang hanya mencapai 10 hingga 15 sak gabah basah, dibandingkan dengan biasanya yang dapat mencapai 20 sak gabah basah setiap kali panen.

Menurut Suroso, cuaca tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan produksi padinya. Namun, pemilik penggilingan padi di desa yang sama, Sri Sulastri, mengungkapkan bahwa harga komoditas pangan di lokasinya juga mengalami peningkatan.

kenaikan harga beras
kenaikan harga beras

Sulastri menjual beras dari penggilingan padinya dengan harga Rp13.500 per kilogram untuk beras utuh, dan Rp12.500 per kilogram untuk beras biasa. Ia mencatat bahwa harga beras utuh yang sebelumnya berkisar Rp12.000 per kilogram kini telah naik sebesar Rp1.500 per kilogram, yang mengakibatkan penyesuaian harga.

Kenaikan harga beras tersebut juga berdampak pada penjualan di tempat penggilingan padinya, yang mengalami penurunan seiring menurunnya daya beli masyarakat. Sulastri mengeluhkan bahwa penjualan beras di tempatnya mengalami penurunan dibandingkan dengan harga yang masih normal. Penurunan ini dipengaruhi oleh fakta bahwa harga beras yang tinggi membuat pembeli membeli dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan sebelumnya.

Sementara itu, Yohanes Susanto dari Lampung menghadapi tantangan serius di sawahnya, di mana hampir seluruh tanaman padinya mengering dan tanah retak-retak. Menurut Susanto, hampir semua petani di Desa Marga Agung, yang menggunakan metode tadah hujan, mengalami gagal panen.

Baca Juga  Keputusan Hakim Anwar Usman, Menguntungkan Gibran, Namun Hakim Tetap Tidak Mundur: Penentu Jabatan adalah Tuhan

Penyebab dari gagal panen ini adalah prediksi yang meleset mengenai periode musim kemarau. Tahun sebelumnya, kemarau hanya berlangsung selama satu bulan, paling lama. Namun, kali ini, kemarau telah berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa hujan yang cukup.

Meskipun harga beras di pasaran meningkat, Susanto mengungkapkan bahwa keuntungan hanya dirasakan oleh petani yang memiliki stok beras dari hasil panen sebelumnya dan belum terdampak oleh panasnya musim kemarau. Bagi mereka, dengan harga beras yang tinggi, mereka dapat mengambil manfaat dari situasi ini.

Saat ini, Susanto merasa bahwa pelajaran penting adalah untuk memiliki simpanan gabah di rumah atau di lumbung agar dapat mengatasi situasi serupa di masa depan. Dia menyadari bahwa pengalaman seperti ini membuatnya lebih bijak dalam mengelola hasil panen dan persediaan beras untuk keperluan pribadi.

Meskipun harga gabah di tingkat petani dan penggilingan padi sedang mengalami peningkatan, namun pemilik Penggilingan Perwito Sudarmo, Darmanto, menghadapi kesulitan dalam menjualnya. Darmanto menyatakan bahwa situasi ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mengizinkan impor beras dari luar negeri. Menurutnya, dampak dari kebijakan ini terutama dirasakan oleh pedagang kecil yang juga memiliki peran sebagai petani di Lampung.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Profesor Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan bahwa peningkatan harga beras di tingkat konsumen tidak hanya disebabkan oleh fenomena El Nino. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaganya, peningkatan tajam dalam biaya produksi petani selama empat tahun terakhir juga turut memengaruhi kenaikan harga beras.

Profesor Andreas menjelaskan bahwa jika biaya produksi petani meningkat secara signifikan, maka kenaikan harga beras di tingkat konsumen menjadi hal yang wajar. Dia menekankan bahwa menjaga harga beras saat ini menjadi sangat penting agar petani tetap termotivasi untuk menanam padi.

Menurutnya, situasi saat ini merupakan hal yang perlu diapresiasi, karena petani yang menanam padi baru-baru ini mulai mengalami keuntungan, setelah bertahun-tahun menghadapi kerugian berkelanjutan. Selama beberapa tahun terakhir, petani padi telah mengalami kerugian secara terus-menerus, seperti yang terlihat dalam survei yang dilakukan oleh lembaganya di 47 sentra padi.

Survei ini menunjukkan bahwa dalam setiap 2.000 meter persegi tanaman padi, petani dapat mengalami kerugian antara Rp250.000 hingga Rp1 juta dalam setiap musim tanam. Masalahnya adalah bahwa harga gabah di tingkat petani tidak sebanding dengan biaya produksinya.

Profesor Andreas juga mencatat bahwa dalam Nilai Tukar Petani (NTP) pada tahun 2021-2022 hanya mencapai 98,5 untuk tanaman pangan, yang menandakan bahwa usaha menanam padi berisiko merugi. Kondisi ini telah berlangsung selama dua tahun berturut-turut, dan hal ini dapat mengurangi semangat para petani.

Baca Juga  Fitur Terbaru WhatsApp 2024, Chat WA Dikunci Gunakan Sidik Jari

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan sejak tahun 2018, yaitu dari 33,9 juta ton menjadi 31,5 juta ton pada tahun 2022. Keengganan petani untuk menanam padi karena harga yang tidak menguntungkan telah membuat momentum La Nina (musim hujan yang lebih panjang daripada musim kemarau) terlewatkan, yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan produksi padi nasional.

Profesor Andreas menyimpulkan bahwa pemerintah, jika benar-benar memperhatikan kesejahteraan petani dan peningkatan produksi padi nasional, harus tetap mempertahankan harga beras saat ini yang telah memberikan manfaat yang baik.

“Kami meyakinkan bahwa harga beras saat ini dapat dipertahankan, dan produksi padi kita akan meningkat tahun depan,” demikian diungkapkan.

Pemerintah Indonesia membuka peluang untuk melakukan impor beras tambahan guna mengatasi dampak dari El Nino yang telah menyebabkan penurunan produksi serta kemunduran panen raya. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama periode Januari-Agustus 2023, pemerintah telah mengimpor sekitar 1,5 juta ton beras. Beras impor ini berasal utamanya dari Thailand, diikuti oleh Vietnam, Pakistan, India, dan negara lainnya.

Dalam perkembangan terbaru, pemerintah membuka peluang untuk mengimpor satu juta ton beras dari China. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, menjelaskan bahwa tindakan ini diambil sebagai tindakan antisipasi terhadap dampak El Nino yang telah mengakibatkan penurunan produksi serta kemunduran panen. China telah berkomitmen untuk menyediakan satu juta ton beras untuk Indonesia jika sewaktu-waktu dibutuhkan, meskipun keputusan untuk mengambil impor ini akan dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan yang muncul.

Selain itu, pemerintah juga telah mengambil langkah untuk menggulirkan program bantuan berupa beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) selama tiga bulan kepada 21,3 juta rumah tangga. Hal ini bertujuan untuk mengintervensi kenaikan harga beras dan memastikan pasokan pangan yang stabil.

kenaikan harga beras berdampak pada pedagang
kenaikan harga beras berdampak pada pedagang

Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, juga mengindikasikan kemungkinan impor tambahan sebesar 1,5 juta ton beras hingga akhir tahun untuk memenuhi cadangan beras Bulog.

Meskipun terjadi penurunan produksi beras tahun ini akibat peralihan ke El Nino, yang diperkirakan sekitar 5% atau setara dengan 1,5 juta ton, Profesor Andreas mengkritik kebijakan pemerintah yang berencana untuk mengimpor beras hingga 2,9 juta ton hingga akhir tahun ini, yang menurutnya dianggap “berlebihan.” Ia berpendapat bahwa untuk menekan harga beras, pemerintah sebaiknya membebaskan impor beras sehingga harga dapat turun. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah harus seimbang untuk melindungi produsen petani agar mereka tidak menghadapi dampak yang berat akibat penurunan harga.

Gilbert Snyder

Gilbert Snyder